RSS

AKSIOLOGI PENGETAHUAN

14 Okt

A.    DEFINISI AKSIOLOGI

Secara etimologis, aksiologi berasal dari kata Yunani, yaitu “axios” yang berarti “nilai”, dan “logos” yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.

Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi aksiologi adalah suatu teori tentang nilai yang berkaitan dengan bagaimana suatu ilmu digunakan.

B.    PENGETAHUAN

Menurut Poedjawijatna pengetahuan adalah gejala tahunya, secara bagian perbagian, seseorang baik bersumber dari dirinya sendiri maupun dari orang lain mengenai sesuatu dan dasar sesuatu itu. Segala sesuatu yang diketahui manusia disebut pengetahuan. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui  tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lain seperti seni dan agama.

Secara aksiologi pengetahuan yang dimiliki manusia yang berupa ilmu itu digunakan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman.

C. ILMU

Ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya secara ilmiah. (Umar Solokhan, 2006).

Menurut Endrotomo dalam ilmu dan teknologi; ilmu merupakan suatu aktivitas tertentu yang menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan pengetahuan tertentu.

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa : ilmu adalah kumpulan dari pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Dalam pengertian lain, ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut berpikir ilmiah. (Burhanuddin Salam, 1997).

Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakekatnya mencakup dua kriteria utama, yaitu :

  1. Mempunyai alur jalan pikiran yang logis.
  2. Didukung oleh fakta empiris.

Persyaratan pertama mengharuskan alur pikiran kita konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada, sedangkan persyaratan kedua mengharuskan kita untuk menerima pernyataan yang didukung oleh fakta-fakta sebagai pernyataan yang benar secara ilmiah.

Kebenaran ilmiah ini tidaklah bersifat mutlak, sebab mungkin saja pernyataan yang sekarang logis kemudian akan bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru, atau pernyataan yang sekarang didukung oleh fakta ternyata kemudian bertentangan dengan penemuan baru. Kebenaran ilmiah terbuka bagi koreksi dan penyampurnaan. Dari hakikat berfikir ilmiah tersebut maka kita dapat menyimpulkan beberapa karakteristik dari ilmu (Burhanuddin Salam, 1997), sebagai berikut:

  1. Ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
  2. Alur jalan fikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada.

3.   Pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.

4.   Mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.

Dengan demikian maka manfaat nilai yang dapat ditarik dari karakteristik ilmu ialah sifat rasional, logis, objaktif dan terbuka. Di samping itu sifat kritis merupakan karakteristk yang melandasi keempat sifat tersebut.

Ilmu merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu dengan memperhatikan objek (ontologi), cara (epistemologi), dan kegunaannnya (aksiologi). Berangkat dari tiga kerangka tersebut, dengan memanfaatkan kemampuan akal untuk memahami fenomena alam semesta (keseluruhan ciptaan atau makhluk Allah) sebagai objek pemahaman yang pada akhirnya hasil pemahaman tersebut dipergunakan untuk memberikan nilai manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan. Adapaun kegunaan ilmu itu adalah sebagai berikut :

  1. Mencapai nilai kebenaran (ilmiah)
  2. Memahami aneka kejadian
  3. Meramalkan peristiwa yang akan terjadi
  4. Menguasai alam untuk memanfaatkannya.

 

Dalam perkembangannnya ilmu mengalami dua tahap (Jujun S.Suriasumantri, 1996), sebagai berikut :

1. Tahap pengembangan konsep.

2. Tahap penerapan konsep.

Dalam tahap pengembangan konsep, ilmu dipelajari secara metafisik, ilmuan melakukan penelitian-penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Pada tahap ini ilmu bersifat kontemplatif, yaitu ilmu bertujuan mempelajari gejala-gejala alam untuk tujuan  pengertian dan pemahaman.

Dalam tahap pengembangan konsep tujuan kegiatan keilmuan bukannya demi kemajuan ilmu itu sendiri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Atau dengan kata lain dalam tahap ini ilmu bersifat manipulatif, dimana faktor-faktor yang terkait dengan  gejala-gejala alam tersebut dimanipulasi untuk dikontrol dan diarahkan proses yang terjadi demi pemecahan persoalan-persoalan praktis yang dihadapi manusia.

Hasil-hasil kegiatan keilmuan dalam tahap ini dialih ragamkan (ditransformasikan) menjadi bahan, atau piranti,atau prosedur, atau teknik pelaksanaan sesuatu proses pengalolaan atau produksi yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang kita sebut teknologi. Jadi bisa dikatakan teknologi dikembangkan pada tahap ini. Kearah mana dan terhadap apa teknologi digunakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan nilai-nilai moral etikanya.

 

TEKNOLOGI

Beberapa pengertian teknologi telah diberikan antara lain oleh David L. Goetch : “People tools, resources, to solve problems ot to extend their capabilities”, sehingga teknologi dapat dipahami sebagai “upaya” untuk mendapatkan suatu “produk” yang dilakukan oleh manusia dengan memanfaatkan peralatan (tools), proses dan sumber daya (resources).

Pengertian yang lain, telah diberikan oleh Arnold Pacey “The application on scientific and other knowledge to practical task by ordered systems, that involve people and organizations, living things and machines”. Dari definisi ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi, tidak bebas budaya dan sosial, ekonomi dan politik.

Jujun S. Suriasumantri mendefinisikan teknologi adalah penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).

Definisi teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk “Technology is a “set of minds” created by people to facilitate human endeavor”. Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu :

  1. Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berpikir, keberadaan teknologi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
  2. Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artificial.
  3. Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of minds), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudut pandang analisis.
  4. Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi human endeavor (ikhtiar manusia), sehingga teknologi harus mampu meningkatkan performansi (kinerja) kemampuan manusia.

Dari definisi diatas, ada tiga entitas yang terkandung dalam teknologi, yaitu skill (keterampilan), algoritma (logika berpikir), dan hardware (perangkat keras). Dalam pandangan Management of Technology, teknologi dapat digambarkan dalam beragam cara :

  1. Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud didalamnya terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk merubah (mengkonversikan) sumber daya (resources) ke suatu produk atau jasa.
  2. Teknologi tidak ubahnya sebagai pengetahuan, sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
  3. Teknologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.

Suatu teknologi biasanya dimulai dari imajinasi, baik secara individual atau kelompok dengan memanfaatkan sentuhan fenomena alam dan kebutuhan-kebutuhan praktis. Dari imajinasi tersebut seorang individu atau kelompok mengembangkan menjadi suatu temuan (invention).

Untuk mengembangkan temuan itu menjadi suatu produk yang unggul. Para ilmuwan melakukan penelitian-penelitian sehingga hasilnya nanti dapat dimanfaatkan oleh manusia.

Teknologi yang telah dikembangkan dari hasil penelitian tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut :

  1. Sebagai sarana untuk memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia.
  2. Meningkatkan performansi (kinerja) kemampuan manusia.

Dalam penggunaan teknologi yang merupakan produk dari ilmu pengetahuan sering kali terjadi penyalahgunaan. Teknologi yang semula digunakan untuk kemaslahatan manusia malah dapat memberikan kerugian yang besar bagi kehidupan. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang harus dibayar mahal oleh manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya.

E. ILMU DAN MORAL

Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “ bumi yang berputar mengelilingi matahari “ dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbulah interaksi antara ilmu dan moral ( yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya (netralitas ilmu), sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari (Sumantri, 1996).

Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan –penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis (bersifat manipulatif) atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk kongkrit yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut.

Dalam tahap manipulasi masalah moral muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan (kegunaan ilmu).

Sejak dalam tahap-tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia. Berbagai macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan dan berbagai teknik penyiksaan diciptakan.

Dewasa ini ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “ Bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust, “ meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal Carl Gustav Jung, “ melainkan Faust yang menciptakan Goethe.“ (Jujun.S.Sumantri,1996)

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmuwan abad 20 tidak boleh tinggal diam, si pemilik ilmu ini harus mempunyai sikap. Ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa suatu landasan moral yang kuat seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang tokoh seperti Frankenstein yang menciptakan momok kemanusiaan yang merupakan kutuk.

a. Penggolongan ilmuwan

Berkaitan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat (Jujun.S.Sumantri,1996), sebagai berikut :

1. Golongan I

Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengatahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya ; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk.

2. Golongan II

Ilmuwan golongan kedua berpendapat sebaliknya. Menurut mereka netralitas ilmu      terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan asas-asas moral.

Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:

(1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang  dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuwan.

(2).Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eksoterik sehingga kaum   ilmuwan lebih mengetahui tentang akibat-akibat yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.

(3). Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa  ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti kasus  revolusi genetika.

Berdasarkan ketiga hal diatas maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan umat manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusian.

b. Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

            Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Seorang Ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, karena fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat demi kemaslahatan bersama.

Menurut Jujun S.Sumantri dalam Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, tanggung jawab sosial ilmuwan meliputi antara lain :

1. Kepekaan/kepedulian terhadap masalah-masalah sosial di masyarakat.

2. Imperatf, memberikan perspektif yang benar terhadap sesuatu hal : untung dan

ruginya, baik dan buruknya ; sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.

3. Bertindak persuasif dan argumentatif (berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya).

4. Meramalkan apa yang akan terjadi ke depan.

5. Menemukan alternatif dari objek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian.

6. Memberitahukan kekeliruan cara berfikir.

7. Menegakkan/menjunjung tinggi nilai kebenaran (universal)

– menganalisis materi kebenaran (kegiatan intelektual).

– prototype motorik yang baik (memberi contoh)

Dalam kenyataannya tidaklah mudah bagi ilmuwan untuk memikul tanggung jawab sosial dibahunya. Tetapi seorang ilmuwan yang dikaruniai kecerdasan intelektual dan memiliki nilai-nilai moral yang luhur akan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik demi kelangsungan kehidupan manusia di dunia ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Depdiknas, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta

S,Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Solikhan, Umar. 2006. Moralitas Bahasa dalam Aksiologi keilmuwan.

Online : (http://www.pusatbahasa.depdiknas,go.id, diakses tanggal 7 September 2011).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 14, 2012 inci Filsafat Ilmu

 

Tag:

Tinggalkan komentar